Kamis, 27 November 2008

Tema: Penurunan Likuiditas dalam Negeri dan Hubungannya dengan Situasi Global

Hasil Kajian Sabtu, 22 November 2008

Melihat dari sejarah perekonomian dan kebijakan Amerika Serikat (selanjutnya akan ditulis AS), sepertinya krisis global yang melandanya kini tak akan meninggalkan pertanyaan kenapa hal tersebut bisa terjadi. Karena semua kronologis sejarah yang akan menjawabnya. Semua terekam di sana, saat kebijakan awal AS yang menetapkan suku bunga yang terlalu rendah.

Case 1

Subprime Mortgage pun dibuat secara besar-besaran, dan permintaannya pun tidak dapat dikatakan sedikit. Masyarakat AS seakan diberi mainan menyenangkan, beli apartemen atau rumah dengan bunga yang sangat rendah, bahkan sampai tak usah memakai anjungan (jaminan).

Case 2

Developer Subprime Mortgage pun merasa berbisnis tanpa risiko. Menganggap bermain aman dengan kepercayaan bahwa rumah merupakan asset yang tak mungkin turun nilainya, membuat mereka kecolongan—menjual assetnya tanpa anjungan.

Case 3

Lehman Brothers yang merupakan perusahan investor paling besar keempat di dunia, berperan bak peminjam nan baik hati. Dia meminjamkan dana dalam jumlah tidak sedikit kepada para peminjam yang hendak membeli subprime mortgage tersebut.

Lehman Brothers juga menanamkan saham di banyak negara dalam jumlah yang tidak sedikit.

2008

Kini, kita sama-sama mengetahui, saat Lehman Brothers bangkrut karena kewajiban yang harus diutamakan perusahaannya jatuh tempo, ialah hutang.

Karena suku bunga yang terlalu rendah di masa lalu, membuat para peminjam meminjam dalam jumlah yang tidak sedikit, konsumsi yang besar, pengangguran sukarela. Semua itu mengakibatkan uang yang beredar terlalu banyak. Jumlah uang yang beredar terlalu banyak jika dibandingkan dengan penawaran barang yang ada mengakibatkan inflasi.

Inflasi ini mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan menaikkan suku bunganya dengan maksud untuk menge-bank-an dolar yang bertebaran di luar jangakaun regulator uang tersebut.

Sayangnya, suku bunga yang tinggi ini bukannya men-stabilkan kondisi perekonomian AS menjadi lebih baik, malah membuatnya lebih buruk daripada yang dibayangkan.

Apa yang terjadi selanjutnya?

1. Para peminjam yang berpenghasilan tetap kesulitan dalam mengembalikan pinjaman uangnya kepada Lehman Brothers—akhirnya default.

2. Berhubung rumah yang mereka beli secara kredit tidak bisa dilunasi, mereka mengembalikan rumah tersebut kepada developernya.

3. Banyaknya jumlah pengembalian rumah, mengakibatkan turunnya harga rumah.

4. Permintaan terhadap rumah bergeser ke kiri karena menurunnya daya beli masyarakat dan tingginya suku bunga.

5. Jatuh temponya kewajiban hutang yang harus dibayar Lehman Brothers

Kredit macet akibat dari tidak sanggupnya para peminjam membayar kreditnya kepada Lehman Brothers, membuat Lehman Brothers kehilangan tidak sedikit assetnya. Kehilangan asset ini tidak hanya berdampak pada meruginya Lehman Brothers, tapi juga kepanikan mereka karena jatuh temponya hutang yang harus mereka bayar.

Karena keharusan membayar kewajibannya ke banyak pihak, maka Lehman Brothers menarik sahamnya yang tidak sedikit jumlahnya itu dari banyak negara—mengakibatkan jatuhnya indeks saham di beberapa negara.

Namun ternyata, upaya penarikan saham dari berbagai negara untuk menutupi hutangnya tersebut tidak cukup. Karena itu, mengakibatkan Lehman Brothers terpaksa menutup perusahaannya dan menghasilkan banyak pengangguran terpaksa ke rumah masing-masing.

Hal tersebut, cukup mengguncang perekonomian AS. Bagaimana tidak?! Peranan Lehman Brothers dalam pergerakan perekonomian AS sangatlah besar.

Dengan jumlah pengangguran yang dihasilkan Lehman Brothers yang tidak sedikit, mengakibatkan turunnya permintaan di pasar barang. Hal tersebut membuat income perusahaan yang memproduksi menurun—output menurun. Selanjutnya, pengangguran pun bertambah banyak, perusahaan yang menurun outputnya langsung mengambil tindakan mengefisiensi perusahaannya dengan meng-PHK para pekerjanya. Alhasil, jumlah pengangguran meningkat di AS.

Pengangguran yang meningkat, membuat mereka tidak sanggup mengkonsumsi barang impor, alhasil permintaan akan barang impor berkurang—menumbangkan hampir banyak perusahaan eksportir yang bertujuan AS.

Kekurangan dana di negaranya sendiri, AS, membuat para investor menarik semua sahamnya kembali ke tangan dalam upayanya memperbaiki perusahaannya. Alhasil, indeks saham terus menerus turun.

Penurunan daya beli tersebut juga membuat ekspor Indonesia menjadi lebih kecil daripada impor. Hal ini terjadi karena tak adanya permintaan dari luar negeri dan tingkat konsumtif yang tetap sama dari negara kita. Alhasil, dolar yang masuk Indonesia tidak bertambah tapi terus berkurang.

Itulah yang membuat likuiditas valas dalam negeri menurun.

DESEMBER YANG MENAKUTKAN

Oleh: WS

Pelemahan mata uang garuda, bukan melewati angka psikologis lagi, tetapi sudah mencapai titik leleh. Dimana rupiah semakin melemah terhadap mata uang asing, terutama pada mata uang dollar Amerika, yang sudah menyentuh pada angka Rp 12.400/USD. Kondisi ini tidaklah seberapa jika dibandingkan dengan kondisi perekonoian di tahun 1998 yang tersandung hingga Rp.16.000/USD. Akan tetapi bukanlah tidak mungkin kita akan kembali ke era 98, meskipun secara fundamental ekonomi Indonesia masih kokoh. Bahkan mata uang garuda diprediksi bakal menyentuh di atas level Rp.15.000/USD di awal desember ini. Perkiraan ini bukanlah tanpa dasar, sebab di penghujung akhir tahun akan terjadi pembayaran utang jangka pendek para taipan Indonesia di tengah ketatnya likuiditas valas.

Penurunan likuiditas valas terutama dollar Amerika, merupakan efek domino terhadap kebangkrutan lembaga keuangan Amerika Serikat, yang memicu terjadinya resesi global, yaitu :

pertama, Kehancuran lembaga keuangan AS, membuat Bush harus melakukan boilout dengan menggelontarkan dana sebesar $ 700 milar, untuk menyelamatkan lembaga keuangan yang kolaps . Akibatnya terjadi penarikan dana besar-besaran (capital flight) pulang kekandang AS dari Indonesia.

Kedua, Terganggunya neraca perdagangan Indonesia, di mana penurunan eksport yang sangat signifikan terutama pada pasar komoditas seperti CPO (crude palm oil) dan batubara, yang merupakan salah satu sumber devisa valas bagi Indonesia, akibatnya devisa Indonesia semakin tergerus dengan ketidak seimbangan antara eksport dengan import.

Ketiga, Spekulasi valas terutama dollar Amerika. Baik dari kalangan pengusaha sampai dengan ibu-ibu di pasar mulai melakukan pembelian dan dollar dengan ekspetasi rupiah bakal melemah terhadap dollar Amerika. Jika saja 1% dari seluruh masyarakat Indonesia yang berjumlah 220 juta jiwa yaitu 2,2 juta jiwa, masing-masing dari mereka mengkonversi rupiah menjadi dollar Amerika sebesar $ 1.000/ orang, maka permintaan dollar Amerika adalah $ 2,2 miliar. Inilah yang membuat dollar semakin perkasa di mata rupiah dan secara tidak sengaja masyarkat Indonesia yang berjumlah 2,2 juta jiwa ini turut gotong-royong menghancurkan value Rupiah terhadap dollar. Analoginya seperti burung garuda yang tadinya tidak mati hanya karena jatuh dari pohon, akhirnya harus menerima kenyataan mati di tangan spekulan yang melindasnya dengan mobil setelah jatuh dari pohon.

Keempat, Tidak adanya pemberlakuan blanket guarantee. Penjaminan dana nasabah oleh pemerintah sebesar Rp 2 miliar sangat membantu untuk menghindari terjadinya rush, sebab 99,96% dana nasbah di bawah Rp 2 miliar. Akan tetapi, 0,04% dana nasabah yang di atas Rp 2 miliar mencapai Rp 600 triliun. Akibatnya kemungkinan besar nasabah 0,04% untuk melakukan konversi rupiah ke dollar AS dan memindahkannya ke negara yang memberlakukan blanket guarantee.

Kelima, Kewajiban pelunasan utang jangka pendek di akhir tahun. Para taipan Indonesia yang mengekspansi usahanya harus melakukan kewajiban pelunasan utang jangka pendeknya dalam bentuk dollar AS di penghujung tahun ini. Pelunasan utang berjangka ini termasuk golongan kelas kakap yaitu mencapai miliaran dollar AS. Akibatnya permintaan dollar yang semakin besar, yang tidak diimbagi supply dollar AS. Inilah kenapa dollar diperkirakan bakal menembus diatas level Rp 15.000/USD di awal bulan desember 2008.

Oleh: Andhika Dwitama

Penurunan likuiditas valas di Indonesia merupakan salah satu efek yg timbul akibat krisis yang terjadi di negeri Paman Sam…

Permasalahan yang kini timbul tidak terlepas dari strategi kebijakan ekonomi Amerika Serikat sendiri.Sekitar tahun 2002-2004,saat kepemimpinan Allan Greenspan tingkat bunga The Fed adalah 1-1,75% sehingga mendorong tumbuh dan berkembangnya sektor properti dan perumahan.Dengan syarat yang mudah,maka seseorang yang tidak memiliki pendapatan dan pekerjaan tetap bisa mendapatkan cicilan untuk properti/perumahan...

Namun,ancaman depresiasi nilai tukar US terhadap mata uang dunia dan tingginya inflasi membuat The Fed tidak mampu mempertahankan tingkat bunga di 1,75% lagi,tapi meningkat hingga 5,5%.Kondisi ini membuat kredit sektor perumahan dari sub prime mortgage banyak yang macet,dan Bank membutuhkan likuiditas yang cukup banyak untuk menutupi kredit tersebut.Dan Investor di sektor ini akhirnya banyak yang menarik dana untuk mendapatkan likuiditas,dalam bentuk dollar Amerika di berbagai fortofolionya,termasuk di Indonesia, baik dalam bentuk saham,dll.Inilah yang akhirnya membawa pasar modal dan pasar uang Indonesia ikut terseret…

Penarikan massal dollar AS untuk kembali ke “negeri Paman Sam” guna memenuhi kebutuhan domestiknya ataupun untuk sekedar jaga-jaga, inilah yang mengakibatkan kekeringan likuiditas valas di berbagai negara termasuk di Indonesia…

Krisis yang terjadi juga mengakibatkan Amerika mengurangi kuota impornya,ini mengakibatkan ekspor Indonesia ke negeri Paman Sam’pun menurun.Apabila ini terus terjadi maka Indonesia akan semakin kekeringan likuiditas valas...

Oleh: Ier Ruswelie

Semua berawal dan berpusat dari apa yang mereka sebut dengan Krisis Global. Dari mana krisis global ini berasal? Jawabannya tentu sudah banyak orang tahu, dialah Amerika Serikat (selanjutnya akan ditulis AS).

Cerita menurunnya valas di Indonesia diawali dengan kegiatan para investor yang notabene berkewarganegaraan asing itu menarik semua sahamnya dari negeri tercinta ini. Hal tersebut jelas merugikan kita, Indonesia. IHSG langsung turun tak terkendali, alhasil bikin para perusahaan negeri kita kelabakan. Gimana enggak, asset sahamnya menurun nilainya.

Efeknya pada nilai tukar rupiah pun gak jauh beda. Penarikan saham dalam nilai rupiah ini dikonversi langsung ke USD untuk menggeliatkan kembali perekonomian negara adidaya itu. Alhasil, nilai tukar rupiah langsung terjun bebas. Dunia perbankan kelabakan, pemerintah panik, para pengusaha protes supaya pemerintah segera memberikan tindakan nyata untuk kembali menstabilkan nilai tukar rupiah tersebut.

Lalu, bagaimana dengan ekspor kita? Teorinya, kalau misalkan rupiah melemah, giatkan ekspor untuk menjejal isi saku dengan dolar. Tapi, sayangnya teori itu cuma berlaku di kertas bangku perkuliahan saja. Pada kenyataannya, hal tersebut sama sekali gak berlaku sekarang ini.

Para pengusaha eksportir pada ketar-ketir sekarang ini, malah banyak yang berkeputusan untuk men-shut down perusahaannya bahkan mungkin exit dari perindustrian. Hal ini, gak lain terjadi karena efek domino yang disebabkan oleh resesi AS. Efek domino yang menjerat para pengusaha ekspor dalam ketidakberdayaan saat melihat gak adanya permintaan dari pasar.

Gimana bisa gak ada permintaan dari pasar?! Jelas bisa, kalau daya beli orang-orang menurun gara-gara PHK atau gulung tikar perusahaannya mengakibatkan menurunnya daya beli orang-orang dan akhirnya pemerintah negara yang bersangkutan pun mengambil kebijakan untuk membatasi atau malah menghentikan impornya dari negara lain.

Lalu, yang jadi pertanyaan saya adalah, kalau pembatasan angka impor diambil oleh misalkan saja AS, Eropa dan kawan-kawan, kenapa kita gak ikutan juga untuk membatasi jumlah impor kita?!

Maksud saya di sini, dengan angka ekspor yang berkurang, apa gak bisa diimbangi dengan angka impor yang diperkecil seminimal mungkin?! Supaya... likuiditas dolar gak sebegitu ketatnya?!

Dengan angka impor yang diperkecil, kita mungkin akan sedikit menderita. Harga barang impor yang lebih murah gak bisa lagi kita konsumsi. Tapi, apa kita sebegitu pengecutnya sampai takut sedikit sengsara?!

Semua perlu pengorbanan. Dan untuk hal yang makro seperti ini, diperlukan pengorbanan bukan hanya oleh satu orang saja, tapi diperlukan kebesaran jiwa seluruh bangsa Indonesia.

Saya gak pernah meragukan kecintaan rakyat Indonesia pada negaranya, tapi yang saya sesalkan adalah keraguan pemerintah dalam bertindak. Saya gak mungkin mengkonsumsi secangkir kopi kalau gak ada. Begitu pula dengan kasus ini, rakyat Indonesia pasti bakalan mencari alternatif lain bila barang impor gak ada. Bahkan mungkin akan bergairah untuk memproduksi barang konsumsi dalam negeri karena permintaan yang tinggi saat terbatas atau gak adanya barang-barang impor. Bukankah ini salah satu cara untuk menggeliatkan perekonomian negara sendiri secara riil?! Dan tentunya kembali menaikkan nilai tukar rupiah terhadap valas. Alhasil, likuditas valas pun bakal meningkat.

Oleh: Nona Phoni

Krisis keuangan AS akibat subprime mortgage telah memberikan efek domino yang luar biasa terhadap perekonomian global. Tak terkecuali Indonesia. Namun, krisis keuangan yang terjadi di Indonesia tidak separah dibandingkan dengan krisis keuangan di AS. Dalam ekonomi makro, dampak krisis keuangan berpengaruh kepada IHSG, valas, harga, dll. Yang akan kita fokuskan di sini adalah tentang valas.

Jika negara maju seperti AS mengalami krisis keuangan, pastilah ekspor Indonesia terkena imbasnya. Krisis keuangan di AS menyebabkan daya beli masyarakat AS berkurang, akibat adanya PHK yang membuat ratusan orang terpaksa kehilangan pekerjaannya. Akibatnya, impor masyarakat AS akan barang-barang migas & non migas juga menurun. Masalahnya, banyak perusahaan Indonesia yang mengekspor barang-barang migas & non migas ke AS. Maka, terjadilah penurunan ekspor yang drastis dari Indonesia ke AS. Karena hal itulah, impor lebih besar daripada ekspor. Pada saat itu, terjadi minus pada neraca pembayaran Indonesia, artinya devisa (persediaan valas mengalami penipisan kuantitas).

Sementara itu, permintaan dolas AS di Indonesia sangat tinggi. Hal ini diperparah dengan para seluruh spekulan yang membuat nilai dolar AS menguat tajam terhadap rupiah.

Pemerintah & BI lalu mengeluarkan kebijakan, di antaranya dengan mengurangi giro wajib minimum valas. Dari kebijakan itu, pasar mendapat tambahan valas. Pemerintah dan BI mengeluarkan lagi kebijakan baru yaitu mengontrol pembelian valas. Valas yang dibeli haruslah untuk tujuan bisnis yang riil.

Melihat fenomena ini, solusi yang saya temukan adalah:

1) Indonesia seharusnya mengambil tindakan mencari alternatif pasa ekspor selain AS

2) Indonesia seharusnya juga melakukan dumping dan juga mengurangi pajak ekspor agar ekspor meningkat

Dengan meningkatnya ekspor, maka likuiditas valas dalam negeri diharapkan stabil kembali.

Oleh: Citra Amanda

Likuiditas :

- Kemampuan perusahaan dalam memenuhi kewajiban jangka pendeknya.

- Kemampuan seseorang/perusahaan untuk memenuhi kewajiban atau hutang yang segera harus dibayar dengan harta lancarnya.

Gubernur BI, Boediono

- Kebijakan BI mengenai pelonggaran likuiditas valuta asing dan rupiah dalam negeri untuk mengantisipasi gejolak ekonomi dan keuangan global di Gedung BI

- Salah satu kebijakan yang diambil adalah menyediakan pasokan valuta asing bagi perusahaan domestik melalui perbankan

Melemahnya Rupiah

BI mengeluarkan kebijakan pelonggaran likuiditas untuk valas dan rupiah sehubungan situasi perekonomian yang berkembang saat ini.

Lima langkah untuk mengurangi tekanan likuiditas & pelemahan terhadap rupiah:

1) Perpanjangan tenor foreign exchange swap dari paling lama tujuh hari menjadi satu bulan, berlaku tanggal 15 Oktober 2008

2) BI menyediakan pasokan valas bagi perusahaan domestik melalui perbankan berdasar underlying transaction, berlaku 15 Oktober 2008

3) Bimenurunkan rasio giro wajib minimum valuta asing untuk bank umum, konvensional, dan syariah dari 3% menjadi 1% untuk mengurangi tekanan terhadap dolar dan kebutuhan akan dolar.

4) BI mencabut ketentuan pasal 4 PBI No 7/1/PBI/2005 tentang batasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek dengan meniadakan batasan posisi saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek, berlaku tanggal 13 Oktober 2008

5) BI menyederhanakan perhitungan GWM rupiah menjadi sebesar 7,5% yang hanya didasarkan dana pihak ketiga yang dimiliki perbankan.

BI melonggarkan likuiditas dollas AS di pasar untuk melancarkan kredit ekspor-impor dan mengantisipasi pelemahan nilai tukar.

BI perlu mengambil langkah antisipasi untuk menjaga kecukupan likuiditas, baik dalam valas maupun rupiah di dalam negeri karena gejolak ekonomi global masih berlanjut.

Empat Kebijakan:

1) Perpanjangan tenor penukaran valas

2) Penyediaan valas bagi korporasi

3) Penurunan rasio giro wajim minimum (GWM) valas

4) Pencabutan aturan tentang batasan saldo harian pinjaman luar negeri jangka pendek

Sebelumnya, BI mengeluarkan kebijakan guna melonggarkan likuiditas rupiah, seperti intensif suku bunga dan tenor untuk fasilitas transaksi gadai (repurchase agreement/repo) penurunan GWM rupiah, dan perluasan jaminan fasilitas pendanaan jangka pendek.

Ketatnya likuiditas menjadi persoalan utama dari krisis keuangan global saat ini, hal itu terjadi karena hilangnya kepercayaan antara bank dan sesama bank/bank dan nasabahnya. Dampaknya, penyaluran kredit yang menjadi urat nadi perekonomian pun macet.

Ketatnya likuiditas juga berimbas ke pasar keuangan Indonesia. Pengamat perbankan dan pasar modal (Mirza Adityaswara) mengatakan, ia lebih mengkhawatirkan ketatnya likuiditas dolar AS ketimbang rupiah, karena ketersediaan rupiah terkontrol sepenuhnya mengingat BI merupakan otoritas pencetak rupiah.

Pengetatan likuiditas dolar AS di dalam negeri lebih sulit ditangani karena pasokannya amat terbatas, salah satunya dari cadangan devisa. Apalagi ketatnya likuiditas dolas AS terjadi secara global.

Likuiditas dolas AS yang ketat di dalam negeri, pada akhirnya akan berdampak pada kejatuhan nilai tukar. Permintaan dolar AS yang tinggi di tengah pasokan yang kurang memperkuat nilai tukar dolar AS terhadap rupiah.

Kebijakan pelonggaran likuiditas valas akan menjadi upaya lain untuk menaham pelemahan rupiah.

Ketatnya likuiditas valas juga akan menghambat transaksi pembiayaan untuk ekspor-impor, Bank cenderung enggan meminjamkan dananya.

Adanya underlying transaksi untuk pembelian valas di atas US$100/bulan untuk mengurangi tekanan berlebihan terhadap nilai tukar rupiah, juga untuk mencegah pembelian valas untuk bertujuan spekulatif, serta untuk menjaga keseimbangan di pasar valuta asing.

Nasabah wajib menunjukkan nomor pokok wajib pajak.

Oleh: Miaw

Seperti yang kita ketahui, bahwa gejolak ekonomi global masih berlanjut. Perjalanan utama dari krisis keuangan global yang terjadi saat ini adalah ketatnya likuiditas. Hal ini terjadi karena hilangnya kepercayaan antar sesama bank maupun bak dengan nasabahnya, mengakibatkan penyaluran kredit yang merupakan urat nadi perekonomian pun macet.

Ketatnya likuiditas berdampak ke pasar keuangan Indonesia. Likuiditas dolar AS yang ketat di dalam negeri akan berimbas pada kejatuhan nilai tukar. Permintaan yang tinggi, pasokan yang kurang akan memperkuat nilai tukar dolar AS terhadap rupiah Indonesia. Pengetatan likuiditas dolar AS di dalam negeri jelas lebih sulit ditangani, karena pasokannya amat terbatas, salah satunya cadangan devisa. Ketatnya likuiditas valas juga akan menghambat transaksi pembiayaan untuk ekspor-impor. Bank cenderung enggan meminjamkan dananya.

Kebijakan pelonggaran likuiditas valas akan menjadi upaya lain untuk pelemahan rupiah.

Oleh : Shieldvie

Pasokan valas dalam negeri bergantung pada aliran dana asing yang masuk. Dengan situasi global saat ini, lembaga keuangan internasional mencairkan assetnya yang tersimpan di banyak negara. Aliran valas ke luar negeri : Permintaan dolar AS tinggi sedangkan pasokannya kurang. Hal ini memperkuat nilai tukar dolar AS terhadap rupiah dan likuiditas dolar dalam negeri menurun. Sehingga menghambat transaksi pembiayaan ekspor-impor.

Pemerintah telah mengambil langkah untuk mengantisipasi pelemahan nilai tukar rupiah ini, di antaranya adalah:

a) Perpanjangan tenor pertukatan valas bertujuan memenuhi permintaan dolar yang temporer.

b) Penyediaan valas bagi korporasi

c) Penurunan rasio Giro wajib minimum untuk menambah ketersediaan likuiditas dolar di bank

d) Perluasan jaminan fasilitas pendanaan jangka pendek

Sejumlah perbankan pun ikut menaikkan bunga deposito valas untuk menahan valas di Indonesia. Selain itu juga diberlakukan pembebasan biaya komisi atas setoran valas. Diharapkan langkah-langkah yang telah ditempuh dapat mengangkat rupiah dari keterpurukan dan menyelamatkan perekonomian nasional.

Oleh: Finz_xxx

Kita semua tentu sudah tahu bahwa saat ini negara super power Amerika sedang dalam masalah/krisis keuangan. Penyebab dari krisis ekonomi AS adalah penumpukan hutang nasional yang mencapai 8,98 triliun USD, pengurangan pajak koperasi, pembengkakakkan biaya perang Irak dan Afganistan, dan yang paling krusial adalah Subprime Mortgage: Kerugian surat berharga property sehingga membangkrutkan Lehman Brothers, Merryl Lynch, Goldman Sachs, Northern Rock, USB, Mitsubishi UF.

Krisis keuangan yang menimpa Amerika jelas juga berdampak di Indonesia, seperti harga rupiah yang terus melemah, IHSG yang juga tidak sehat, ekspor diperkirakan juga menjadi terhambat karena perusahaan-perusahaan AS akan melakukan politik banting harga.

Berbagai kalangan sudah memperkirakan bahwa dampak krisis keuangan di Negeri Paman Sam ini akan menjadi krisis global. Efek dominonya akan melebar ke mana-mana. Hal ini dikarenakan negara-negara di dunia, termasuk Indonesia, banyak melakukan hubungan bisnis dan dagang dengan AS, baik di pasar keuangan maupun kegiatan ekspor-impor.

Saat ini nilai kurs rupiah terus menurun seiring dengan menguatnya dolar AS. Hal ini disebabkan permintaan terhadap dolar yang terus meningkat, sedangkan pasokan dolar AS yang menurun. Naiknya permintaan dolar disebabkan karena tingkat kepercayaan masyarakat terhadap dolar lebih besar dibandingkan rupiah. Masyarakat mulai berspekulasi dengan membeli dolar sebanyak-banyaknya sehingga hal ini menyebabkan dolar terus menguat dibanding rupiah.

Selain itu, perekonomian AS yang semakin memburuk membuat AS mengurangi kuota impornya dari luar negeri, termasuk Indonesia. Ekspor Indonesia ke Amerika berkurang sehingga perputaran dolar di Indonesia pun berkurang.

Pelemahan kurs rupiah tak biasa dihindari mengingat institusi keuangan dan non keuangan di Amerika Serikat dan negara-negara Eropa yang merugi akibat subprime mortgage cenderung menarik modalnya di negara-negara berkembang termasuk Indonesia. Dana tersebut dipakai untuk menutup kerugian dan mempertahankan operasional perusahaan induk.

Untuk menjaga stabilitas keseimbangan permintaan dan pasokan di pasar valas, Bank Indonesia mulai mengatur pembelian valuta asing. Ketentuan ini berlaku untuk pembelian valas ke bank, baik oleh semua pelaku ekonomi selain bank seperti nasabah individu, badan hukum Indonesia, dan pihak asing. Selain untuk menjaga keseimbangan permintaan dan pasokan di pasar valas, peraturan ini dikeluarkan juga untuk mengurangi tekanan yang berlebihan terhadap nilai tukar rupiah dan meminimalkan tujuan pembelian valuta asing yang bersifat spekulatif.

Pada hakikatnya, pelemahan rupiah secara terukur justru membawa sejumlah manfaat bagi perekonomian domestik. Pelemahan rupiah yang terkendali akan menolong eksportir bagi perekonomian domestik. Pelemahan rupiah yang terkendali akan menolong eksportir yang terimbas resesi global. Kondisi itu juga akan menekan impor sehingga surplus devisa nerasa perdagangan terjaga. Impor yang menurun selanjutnya akan mengurangi tekanan inflasi yang berasal dari barang impor (imported inflation). Jika inflasi turun, Bank Indonesia tentu tak perlu lagi menaikkan suku bunga acuan atau BI Rate yang kini berada di level 9,5 %. Suku bunga kredit yang murah amat diperlukan agar sektor riil tak kehilangan daya saing.

Akan tetapi yang terjadi saat ini adalah penurunan nilai rupiah yang fluktuatif dan menyebabkan ketidakpastian keadaan ekonomi. Pengusaha impor mengalami high cost economy karena harga bahan baku produksi yang harus dibeli menjadi relatif lebih mahal. Melemahnya nilai tukar rupiah, terutama terhadap dolar AS dan Yen Jepang, akan mempengaruhi harga pokok produksi industri kendaraan karena kandungan impor bahan bakunya. Pada industri sepeda motor, impor bahan baku maksimal sebesar 30%.

Kenaikan biaya pokok produksi tentu mendorong industri menaikkan harga penjualan produk. Namun, penjualan otomotif di pasar domestik akan lebih banyak dipengaruhi oleh suku bunga kredit, tingkat inflasi, dan akses pembiayaan. Harga jual peroduk bagi masyarakat akan meningkat dan membebani masyarakat.

Menguatnya nilai dolar juga memiliki dampak global. Penurunan nilai mata uang negara lain terhadap dolar menyebabkan kenaikan harga barang terutama di negara-negara berkembang yang akhirnya menyebabkan tingkat inflasi meningkat.