Selasa, 28 April 2009

Selayang Pandang Situasi Perbankan Indonesia Saat ini

Created by:

Fina

Bank Indonesia selaku otoritas moneter telah mengambil kebijakan moneter yang lebih longgar sebagai respons atas situasi ekonomi dalam negeri yang sedikit bergerak ke arah yang kondusif dengan menurunkan lagi BI rate. Keputusan Bank Indonesia (BI) tersebut disambut gembira dunia usaha. Pasalnya BI Rate yang rendah diharapkan bisa mendorong turunnya suku bunga kredit perbankan. Di tengah daya beli masyarakat yang turun dan melemahnya kinerja industri nasional, suku bunga yang rendah merupakan stimulus yang dinantikan dunia usaha.

Namun, sayangnya, sejak BI Rate diturunkan, salah satu yang dikeluhkan sektor riil adalah suku bunga kredit yang tetap tinggi. Dalam situasi moneter yang normal, koreksi BI Rate akan mendorong turunnya suku bunga kredit. Namun, situasi yang normal tersebut belum bisa terlihat saat ini.

Meskipun BI dan pemerintah sudah mengeluarkan banyak kebijakan untuk melonggarkan likuiditas, ternyata likuiditas di pasar masih cukup ketat. Itu tercermin dari masih tingginya suku bunga deposito yang ditawarkan kepada korporasi dan nasabah kaya dengan simpanan di atas Rp 1 miliar. Likuiditas yang masih ketat juga tercermin dari masih seretnya penyaluran kredit.

Ada beberapa faktor yang menyebabkan likuiditas tetap kering;

· Pertama, kebijakan buy back saham oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Dengan adanya kebijakan tersebut, BUMN cenderung menahan dananya agar sewaktu-waktu, ketika harga saham sedang jatuh, dana bisa langsung digunakan.

· Kedua, perbankan di Indonesia kesulitan mendapatkan dana dari pasar regional dan internasional. Ini terjadi karena pasar regional juga mengalami kekeringan likuiditas, terutama dollar AS.

· Ketiga, tingkat risiko Indonesia naik sehingga kreditor akan berpikir ulang untuk memberi pinjaman kepada perbankan dan perusahaan di Indonesia.

Dalam situasi pasar normal, bank akan meminjamkan dananya kepada bank yang membutuhkan, tetapi dalam pasar yang tidak normal seperti ini, maka bank-bank berhati dan memilih memegang dananya, sehingga likuiditas menjadi ketat. Hal ini membuat segmentasi di mana terdapat bank yang memiliki likuiditas banyak dan bank yang kerepotan untuk mencari dana guna memenuhi kebutuhannya.

Di satu sisi, likuiditas perbankan memang sudah bergerak positif terlihat dari tingginya dana pihak ketiga (DPK). Namun di sisi lain, kesiapan sektor riil dalam menyerap likuiditas masih diragukan pihak bank. Akibat banyak meraup dana pihak ketiga (DPK) tetapi tidak banyak menyalurkan kredit, sejumlah bank mengalami kelebihan likuiditas. Ujung-ujungnya, dana perbankan di Sertifikat Bank Indonesia (SBI) kembali melonjak tinggi.

Jumlah Sertifikat Bank Indonesia terus meningkat dalam beberapa bulan terakhir. SBI menjadi pilihan terbaik perbankan menempatkan likuiditasnya di tengah kemandekan penyaluran kredit dan minimnya ketersediaan instrumen investasi aman lainnya. Bank memilih aman dengan menempatkan dana-dana jangka pendeknya ke instrumen yang memberikan return lebih pasti dan aman seperti sertifikat Bank Indonesia (SBI). Inilah yang menyebabkan penempatan dana oleh perbankan ke SBI kembali melonjak

Perbankan memiliki kepentingan untuk memperbaiki kinerja keuangan akibat krisis ekonomi. Namun, perbankan hendaknya jangan hanya berorientasi ke dalam, tapi juga outlooking sehingga hasil dari policy BI yang tepat segera diikuti perbankan

Selain itu, perbankan seharusnya mengurangi persaingan antarbank, sehingga bisa menekan tingginya suku bunga kredit. Pelaku usaha berharap suku bunga kredit bank pemerintah ataupun bank swasta diturunkan segera. Penurunan suku bunga kredit bisa membantu beban usaha yang selama ini terbebani bunga yang tinggi. Kalau suku bunga turun, pengusaha bisa menjaga cash flow dengan baik sehingga mampu menghadapi krisis dan memenuhi kewajiban kepada bank secara tepat waktu.

Spread suku bunga simpanan dan suku bunga kredit seharusnya dipersempit sehingga kredit tetap mengucur deras. Dengan kata lain, perbankan harus mau sedikit berkorban untuk kepentingan semua pihak. Namun, jika perbankan tidak memiliki komitmen kuat menggerakkan ekonomi sektor riil dan memilih aman, serendah apa pun level BI Rate tidak akan memberikan dampak yang signifikan.

Di samping itu, pemilik dana juga harus maklum jika perbankan menurunkan suku bunga dana, agar peluang menurunkan suku bunga kredit bisa diwujudkan. Tentu sulit bagi perbankan kalau pemilik dana masih menghendaki suku bunga tinggi, sementara di sisi lain perbankan dituntut menurunkan suku bunga kredit. Jadi, perbankan dan pemilik dana harus sama-sama menyadari penurunan suku bunga memberikan manfaat untuk khalayak luas.

Mudah Mengerti DPK ( Monyet pun Dapat Mengerti )

Created by:
Digo

Peringatan penulis : tidak sepenuhnya isi dalam kajian ini adalah benar…. Harap berhati – hati..
Apa itu DPK, Dewan Pemberantas Korupsi kah ?Bukan tong, DPK itu gak sama kayak KPK yang sedang berjuang melawan korupsi di Indonesia. DPK itu kepanjangan dari Dana Pihak Ketiga. Apaan pula itu dana pihak ketiga ? Artinya dana pihak ketiga itu adalah dana yang dihimpun oleh bank dari masyarakat ( dikumpulin gitu ama si pihak bank). Dana pihak ketiga itu dihimpun dalam bentuk tabungan, deposito ,dan giro ( tabungan, deposito ma giro gak usah gw jelasin..pasti dah pada tau kan..Kalo lom tau ?? Mati aja dah lo ahh). Terus, buat apa bank menghimpun dana buat masyarakat ?? Jadi gini tong, bank itu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat biar duit yang ada di masyarakat itu tuh bisa disalurkan buat pengusaha – pengusaha baik nyang lepel teri atau lepel kakap. Karena itu, bank disebut sebagai lembaga intermediaries artinya lembaga perantara dalam peredaran uang.

Nah, si DPK ini nantinya dapat menentukan kondisi perekonomian di negara kita tercinta ini, Indonesia. Seperti yang kita ketahui sodara – sodara, kondisi perekonomian sekarang kan lagi gundah gulana dan lesu kayak ngkong – ngkong. DPK yang dihimpun oleh bank otomatis akan meningkat gara – gara banyak orang pengen nabung di bank daripada duitnya digerus di pasar saham. Nah, permasalahannya, orang Indonesia itu tuh sekali terlanjur cinta ma suatu merk bakal susah selingkuh dari merk tersebut. Liat aja contohnya, kebanyakan orang nabung di BCA, BNI, BRI, MANDIRI, Permata atau bank – bank jadul lainnya (sama kasusnya kayak lo mau beli aer botol, kebanyakan lebih milih aqua daripada merek laen [kalo harganya sama murah ma yang laen]). Akibat dari ini semua, bank – bank laen yang kedapatan DPK dengan jumlah sedikit bakal susah ngasih kredit ke para calon pengutang (kasian bener mereka, udah pendatang baru, nama kecil, gak ada yang mau kredit lagi..menderita bener hidupnya). Tapi, emang dasar pendatang baru itu suka gila – gilaan, maka mereka pun dengan pede bikin produk tabungan atau deposito dengan bunga yang tinggi buat menarik nasabah (contoh, bank Mega, punya produk tabungan premium yang bunganya gede mampus. Tapi lo kudu nyetor minimal setoran awal ber miliar miliar gitu).

Akibat dari ngegedein bunga buat nasabah, bank – bank tersebut harus mengambil spread yang lebih sempit dengan SBI. Lah – lah, apa pula ini ? Jadi gini lagi tong, kita tau ada SBI (Suku Bunga bank Indonesia) nah, biasanya si Bank itu nyimpen DPKnya itu ke BI biar dapet untung dari SBI. Nah, kalo bunga SBI biasa aja sedangkan bunga Bank biasa itu gede, bisa mengakibatkan untungnya berkurang atau mereka malah nombok. Biar bisa ngakalin hal begini, bank – bank tersebut bakal ngeluarin kredit dengan bunga yang lebih tinggi.

Nah, ngemengin soal DPK, ternyata ketersediaan DPK di jagat raya Indonesia ini saat ini sangatlah volatile (terjemahan bebas; volt = ada kaitan ma listrik, lambangnya zigzag. Artinya pergerakannya juga zig-zag naek turun bikin jantung deg- degan). Sekali naik bisa kayak ngedaki Everest, kalo turun bisa ampe nyungsep. Gara – gara ini, om – om dan tante – tante yang kerja di bank pada susah ngitung duitnya (kasian yach mereka). Volatile-nya DPK ini gak lepas dari naik-turunnya harga saham dan produk investasi yang bikin itu duit keluar-masuk bank dan bursa.

Terus, kalo mau nabung, bagusnya nabuing di bank apa yah ?? Kalo pribadi, gua menyarankan di bank BUMN. Lebih aman dan terjamin, Cuma mungkin pelayanan kuran maksimal. Kalo bank swasta gw saranin bank BCA, disitu tuh banyak keunggulan – keunggulan bukan cuma buat nabung, tapi juga teknologi kayak transfer duit sama bisa buat investasi lebih mudah (katanya sih gitu). Kalo ditinjau dari segi DPK – DPK an, kayaknya menabunglah di bank dengan DPK besar, soalnya lebih likuid. Kalo di bank kecil walaupun bunganya gede, tapi lebih beresiko dari segi likuiditas, pelayanan, dan juga keamanan.

Sekian dulu dari gw. Mudah kan ?? Masih gak ngerti juga ?? Berarti lo lebih parah dari monyet.. wahakhakhahakhakakakhakhka.

Btw, gak semua isi dari tulisan ini adalah fakta. Beberapa fiksi sengaja gw selipin biar makin rame. Kalo ternyata sumber gw ini salah, salahin si Raye ma adit. Karena mereka yang ngajarin gw….

Senin, 27 April 2009

POOR THEM

Created by:

Ier Ruswelie

Inflasi terus menanjak, semua orang langsung melirik dompet di sakunya, ‘Apa yang harus saya lakukan dengan uang dalam dompet saya?! Makin hari pastinya uang tersebut bakal tambah gak bernilai.’

Kemudian, apa yang bakal terjadi?! Hal yang wajar jika hampir setiap orang berpikir untuk mengkonsumsi uangnya secepat mungkin sebelum uangnya tersebut tambah gak bernilai. Lalu, yang menjadi concern tulisan saya adalah apa yang bakal terjadi jika suatu ketika BI rate diturunkan tapi yang menjadi masalah adalah bank kesulitan untuk mematuhi peraturan tersebut karena mereka seakan ingin menjerit kalau mereka sedang kekurangan dana dan berusaha sebisa mungkin untuk menghimpun dana sebesar-besarnya supaya mereka masih bisa layak untuk menjalankan bisnis perbankannya.

Well, it’s what we called ‘ironic’. Kenapa?

Saat suatu bank yang kita sebut sebagai perantara antara orang kelebihan duit dan orang yang butuh duit untuk dipinjamnya itu kelabakan gara-gara kekurangan supply dana dari para nasabah yang disebut dana pihak ketiga ini, maka semua pun kelimpungan.

Just... imagine, apa yang terjadi saat BI rate turun?!

Orang-orang jadi tidak terlalu berminat buat saving uangnya di bank, mereka, pastinya bakal lebih memilih pilihan yang lebih menggiurkan (bunga lebih besar), let’s say it bond. Bukti nyata di depan mata, SR-001 langsung sold out dalam beberapa hari karena bunga yang cukup menggiurkan dan pajak yang rendah. Terus, apa yang menjadi masalahnya?

Masalahnya langsung muncul ke permukaan saat jumlah nasabah yang menyimpan uangnya di bank menurun, namun dengan suku bunga yang rendah, membuat para peminjam berdatangan menuju pintu bank untuk meminjam uang. Nyatanya, bank yang meminjamkan uang ini kan dari uang yang disimpan para nasabah, nah... apa jadinya jika RRR (reserve ration requirement) yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai dengan simpanan yang tersimpan di bank yang harus dikurangi oleh jumlah uang yang diperlukan oleh para peminjam.

Maka, mereka pun menyebut situasi ini dengan likuiditas yang ketat. Kasarnya sih, si bank mengalami kondisi bimbang—naik salah turun salah.

Lalu, apa yang terjadi dengan keuntungan yang diperoleh oleh si bank tersebut. Tentu bakal menyusut dengan kesulitan seperti ini. Maka, jangan heran jika kini terdapat beberapa bank yang melakukan merger, atau mungkin benar-benar tak dapat kembali meneruskan ‘karier’-nya di kancang perbankan ini. Kalau begini jadinya, boro-boro buat expand, untuk bertahan pun perlu kerja keras yang gak gampang.

Berbeda halnya dengan beberapa bank yang memang telah memiliki banyak nasabah. Katakan saja mereka adalah bank-bank besar semisal Bank Mandiri, BCA, Bank Danamon, BRI. Untuk para nasabahnya, sepertinya mereka tidak usah khawatir akan kehilangan dananya di bank-bank tersebut, karena kemungkinan sangat kecil mereka akan ikutan hengkang seperti bank-bank yang tak sanggup untuk bertahan.

Karena itu, untuk sekarang ini, para jawara inilah yang layak untuk kita, para nasabah, simpani uang kita. Tentunya dengan pertimbangan yang telah kita bahas sebelumnya.

Rabu, 22 April 2009

Created by:

SHIELDVIE


Krisis keuangan global yang terjadi menyebabkan kepanikan para nasabah perbankan dalam negeri bertambah dan mereka menilai menyimpan dana di bank sudah tidak aman lagi Likuiditas antar bank di Indonesia menjadi semakin ketat. Kondisi perbankan Indonesia diwarnai oleh perebutan dana pihak ketiga. DPKyang ditarik oleh perbankan paling banyak disedot oleh Bank-Bank BUMN tetapi Bank – Bank BUMN ini juga memiliki non performing loan / NPL yang relatif lebih besar daripada bank swasta atau bank daerah. Selama Januari 2009, NPL bank BUMN meningkat Rp 2,34 triliun. Data Bank Indonesia menyebutkan, posisi nominal NPL kelompok bank BUMN pada akhir Januari 2009 jadi Rp 19,94 triliun. Adapun kelompok bank swasta, kenaikan NPL- nya Rp 1,5 triliun, menjadi Rp 15,8 triliun. Kelompok bank lainnya, seperti Bank Pembangunan Daerah dan bank asing, kenaikan NPL-nya relatif rendah.

Dari data di atas, dapat diambil asumsi awal bahwa dana kita masih lebih aman jika ditaruh di bank- bank swasta yang besar karena disamping bank- bank ini cukup banyak dapat menarik DPK, bank-bank ini juga punya NPL yang lebih rendah daripada bank BUMN. Sedangkan untuk Bank Pembangunan Daerah dan bank asing, walaupun punya NPL yang lebih rendah dari bank swasta namun tidak dapat menarik DPK terlalu banyak. Oleh karena itu, untuk saat sekarang bank swasta lah yang punya likuiditas paling tinggi sehingga cukup aman bagi kita untuk menaruh dana di sana. Namun tentu saja asumsi awal ini harus dibuktikan terlebih dahulu. Kita harus melihat kinerja keuangan dari bank-bank tersebut. Kinerja keuangan bank-bank dapat dilihat dari indikator-indikator keuangan, seperti Capital Adequacy Ratio (CAR), Return On Asset (ROA) dll. CAR perbankan nasional menunjukkan kesiapan perbankan nasional untuk melakukan ekspansi bisnisnya. ROA menunjukkan tingkat keuntungan.

Ditinjau dari NPL-nya, BCA memiliki NPL paling rendah diikuti oleh Bank Lippo, Bank Panin, Bank Danamon, dan BII.

Dari segi DPK, Bank Mandiri berhasil menyedot dana paling banyak disusul oleh BCA, BRI, BNI, dan Bank Danamon. Secara individual, pada Maret 2008 empat bank terbesar di tanah air (Mandiri, BRI, BNI dan BCA) mengalami penurunan DPK yang cukup besar sehingga berdampak signifikan terhadap penurunan DPK perbankan. Penurunan tersebut terjadi di seluruh jenis DPK, baik tabungan, giro dan deposito dengan penurunan tertinggi terjadi pada giro.

CAR perbankan nasional yang di level 19,39% pada April 2008 menunjukkan bahwa perbankan nasional sangat siap untuk melakukan ekspansi bisnisnya walaupun sedikit mengalami penurunan dibanding posisi Maret 2008 yang sebesar 20,52%. Sementara itu untuk periode kuartal I 2008, semua bank papan atas memiliki CAR yang tinggi.

Namun sebagian kecil bank-bank tersebut juga mengalami penurunan rasio seperti dialami oleh Panin, Lippo, BTN dan BII.

Diantara bank-bank besar hanya BRI yang ROA-nya berada pada level sangat tinggi atau diatas 4% sehingga mendapat julukan ”the most profitable bank” ini terbukti dengan pencapaian laba BRI yang sangat mengesankan pada kuartal I tahun ini yang naik sebesar 15% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya. Di kelompok bank swasta nasional, ada tiga bank yakni Danamon, BCA dan Permata yang nilai ROA-nya juga bagus.

Dalam waktu yang bersamaan secara umum 11 bank papan atas memiliki NIM yang sangat bagus di atas 5%. Hal ini menunjukkan bahwa bisnis perbankan di Indonesia masih cukup menggiurkan. Kondisi ini menarik minat beberapa investor asing baik dari Singapura, Malaysia maupun negara petro dollar dari Jazirah Arab untuk berinvestasi di sektor perbankan Indonesia. Sama seperti periode sebelumnya, jawara NIM terbesar 11 bank papan atas masih berada di tangan BRI. Posisi kedua dicapai Danamon. Hal ini membuktikan sektor Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) merupakan sektor yang cukup menjanjikan untuk mendapat fokus lebih dalam ekspansi perbankan.

Dari data-data tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa ada 3 alternatif bank yang dapat kita jadikan pilihan untuk menempatkan dana karena dinilai paling aman yaitu: BRI, BCA dan Bank Danamon . BCA dan Bank Danamon memiliki NPL yang relatif rendah sedangkan BRI masih cukup tinggi. Dalam hal DPK, CAR, ROA, dan NIM ketiga bank ini menunjukkan performa yang bagus. Jadi asumsi awal tadi tidaklah salah karena bank swasta yang besar sperti: BCA dan Bank Danamon memang masih relatif aman, hanya asumsi tersebut kurang tepat karena ternyata Bank BUMN seperti: BRI pun masih menunjukkan performa yang bagus. Namun, masih banyak kekurangan yang terdapat dalam tulisan ini terutama data yang didapat hanya sampai April 2008. Hal ini disebabkan karena waktu yang terbatas menjelang UTS (sekedar pembelaan). Oleh karena itu, saran dan kritk sangat diharapkan. Terima kasih atas perhatiannya…

PENGARUH DPK TERHADAP PERBANKAN DI MASA KRISIS

Created by:
WILLY

Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan yaitu sebagai penghubung antara pihak yang kelebihan dana (surplus unit) dan pihak yang kekurangan dana (defisit unit), dengan menghimpun dana pihak ketiga yaitu para nasabah atau deposan lalu menyalurkannya kepada para debitur(pengusaha dan pihak yang memerlukan dana segar). Akan tetapi, ketika di pertengahan 2008 krisis menghampiri Amerika, jepang, eropa dan tidak terkecuali juga Indonesia, menyebabkan beberapa perbankan telah tersingkir dari peta persaingan perbankan Indonesia contohnya bank Tripanca, bank century dan indover meskipun beberapa telah diambil alih oleh LPS.

Dalam kondisi seperti ini BI telah mengeluarkan beberapa regulasi yang mengikat perbankan agar bisa beroperasi, beberapa ketentuan perbankan dikatakan sehat dilihat dari:
1. Capital adequacy ratio(CAR) harus melebihi 8%
2. Kualitas asset
3. Manajemen
4. Rentabilitas
bisa dilihat dari ROA, ROE dan NIM,dll.
5. Likuiditas
bisa dilihat dari loan to debt ratio (LDR) tidak lebih dari 5% , proyeksi cash flow, dll.
6. Sensitivitas terhadap risiko pasar.
Sensitivitas bisa diukur dari:
a. modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi
suku bunga dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat
fluktuasi (adverse movement) suku bunga;
b. modal atau cadangan yang dibentuk untuk mengcover fluktuasi
nilai tukar dibandingkan dengan potential loss sebagai akibat
fluktuasi (adverse movement) nilai tukar; dan
c kecukupan penerapan sistem manajemen risiko pasar.

Di kuartal pertama 2009 penurunan inflasi menjadi 7,92% membuat Bank Indonesia Sudah menurunkan BI rate sudah turun menjadi 7,5% dari 9,5% atau sudah menurun 200 basis point dari posisi puncaknya. Akan tetapi, bank-bank masih sulit untuk menurunkan angka kredit, padahal Sertifikat Bank Indonesia sudah menurun dengan bunga yang bertengger di angka sekitar 7,9% untuk tenor satu bulan dan sekitar 8,3% untuk tenor tiga bulan. Kesulitan menurunkan bunga kredit dan deposito disebabkan karena adanya kekeringan likuiditas di pasaran dan ketakutan larinya nasabah-nasabah bank kecil ke bank yang lebih besar.

1 Bulan (IDR/USD) 3 Bulan (IDR/USD) 6 Bulan (IDR/USD) 12 Bulan (IDR/USD)
CITIBANK 5.75/0.15 8.63/0.45 8.75/0.78 6.88/0.93
DEUTSCHE BANK AG. 8.63/0.74 8.63/0.88 9.60/1.50 10.75/2.13
STANDARD CHARTERED 8.00/1.25 8.50/3.00 9.00/1.50 9.00/1.75
HSBC 5.19/0.00 5.63/0.25 6.20/0.54 6.49/0.54
BANK COMMONWEALTH 5.50/0.38 5.00/0.38 4.75/0.38 4.75/0.38
BANK DBS INDONESIA 9.13/1.90 9.63/2.40 7.23/1.07 7.28/1.30
BANK OCBC INDONESIA 9.41/3.33 9.88/4.49 11.29/4.37 8.88/0.00
BANK EKSPOR INDONESIA 9.25/4.88 12.88/4.63 10.38/2.75 9.63/3.38
BANK MANDIRI 6.38/2.75 6.50/2.75 6.75/2.75 7.00/2.75
BNI 46 6.25/2.75 6.25/2.75 6.75/2.75 7.00/2.75
BRI 7.25/2.88 7.25/2.88 7.50/2.88 7.50/2.88
BTN 6.50/2.75 6.50/2.75 6.75/2.75 6.75/2.75
BANK CIMB NIAGA 8.28/3.25 8.63/2.75 8.63/3.38 8.88/3.50
BANK UOB BUANA 0.00/0.00 0.00/0.00 0.00/0.00 5.88/0.60
BANK BUKOPIN 9.25/2.75 9.13/2.75 9.13/2.75 8.88/2.75
BANK BUMIPUTERA 7.88/1.63 8.00/1.63 8.13/1.63 8.25/1.63
BCA 7.13/2.63 7.88/2.63 8.13/2.63 7.88/2.63
BANK DANAMON 9.50/5.05 9.63/5.05 9.63/5.05 10.38/5.05
BII 6.00/1.25 6.00/1.25 6.00/1.25 6.00/1.25
BANK MEGA 6.25/3.50 6.25/3.50 6.25/3.50 6.25/3.50
BANK OCBC NISP 7.63/0.80 6.13/0.60 6.13/0.60 6.13/0.45
BANK PERMATA 8.25/3.25 8.00/2.00 7.13/2.00 8.95/2.00
LIPPOBANK 8.28/2.75 8.63/3.38 8.38/3.50 8.75/3.50
PANIN BANK 9.50/3.13 9.88/3.25 10.00/3.38 10.00/3.50
Suku Bunga seluruh Bank *7.95/0.00 8.08/2.39 8.04/0.00 8.11/0.00
Sumber: www.kontan.go.id

Sebenarnya kekeringan likuiditas di perbankan itu sedikit aneh, sebab jika dilihat dari dana yang terparkir di SBI meningkat sangat signifikan dibandingkan denga tahun kemarin yaitu Pada Agustus 2008, SBI hanya sebesar Rp86, 7 triliun. Perbankan lebih gencar melakukan pengucuran dana untuk kredit daripada ditempatkan pada SBI. Pada Oktober 2008, SBI mulai terangkat dengan capaian sejumlah Rp124, 4 triliuan. Peningkatan tersebut tidak terhenti begitu saja, data BI per 27 Februari 2009 menunjukkan penempatan dana di SBI pada posisi Rp230, 94 triliun. Dilihat dari data tersebut maka saya menyimpulkan bahwa:

1. Bank tidaklah mengalami kesulitan likuiditas
Dengan SBI yang semakin gemuk, mengindikasikan bahwa bank tidaklah mengalami kekeringan likuiditas meskipun ada kemungkinan bahwa bank yang mengalami likuiditas ketat hanyalah bank-bank kecil, sebab tingkat kepercayaan nasabah berada pada bank-bank besar karena adanya efek psikologis nasabah terhadap krisis moneter ’97 ketika perbankan mengalami rush, sehingga bank-bank kecil ini sulit menurunkan tingkat suku bunga karena selain ingin menarik dana pihak ketiga juga menghindari terjadinya rush dan nasabah pindah haluan ke bank-bank besar.

2. NPL yang tinggi di saat krisis menyebabkan LDR perbankan semakin kecil
Di saat kondisi krisis seperti ini bank-bank “enggan” menyalurkan kredit terutama pada perusahaan yang bergerak pada sektor-sektor komoditas( pertambangan, batubara), sektor perkebunan khususnya kelapa sawit(CPO), sektor manufaktur (tekstil) dan juga usaha yang berorientasi pada sektor ekspor-impor yang rentan terhadap krisis. Jadi tidaklah heran jika perbankan sulit menurunkan suku bunga kredit, hal ini untuk menghindari non performing loan(NPL) yang semakin tinggi di masa krisis dengan menurunkan proporsi Loan to debt ratio(LDR).

3. Dana pihak ketiga sebagai sumber profit dan penutup laba operasional
Dengan kondisi krisis seperti sekarang, perbankan sangat takut untuk menyalurkan kredit, sehingga proporsi loan to debt ratio (LDR) menurun drastic, maka tidaklah heran jika laba perbankan terkoreksi cukup dalam, sebab net interest margin(NIM) dan net profit margin(NPM) semakin menipis, dan cara teraman untuk meraup profit tanpa resiko yaitu dengan parkir di SBI meskipun dari segi NIM dan NPM jauh lebih kecil jika dibandingkan dengan tingkat bunga kredit. Akan tetapi, dengan semakin banyaknya dana yang terparkir di SBI tidak menutup kemungkinan untuk meraup profit dan untuk kondisi sekarang inilah cara paling aman untuk bertahan.

Jadi kelihatan bahwa bakal ada korban selanjutnya yaitu bank-bank kecil yang tidak mampu bertahan akibat dari LDR yang semakin kecil dengan tingkat NPL yang semakin besar dan juga ketidakmampuan menarik dana DPK yang kemungkinan besar bisa menutupi beban operasional dan bahkan menciptakan laba dengan catatan jika bunga deposito tidak lebih besar dari bunga SBI.