Jumat, 27 Februari 2009

Ada Apa dengan Sukuk Ritel?

Erfina Kireinahito

With her analysis:

Ada Apa dengan Sukuk Ritel?


Tahun 2009 ini perekonomian dunia diperkirakan akan mengalami perlambatan yang juga akan berpengaruh terhadap perekonomian Indonesia. Di tengah terjadinya krisis ekonomi global kali ini, diperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan hanya tumbuh sekitar 4%. Angka pertumbuhan ini boleh dikatakan sangat tidak memadai, karena suatu penelitian memperkirakan bahwa untuk menyerap tenaga kerja dan menghindari bertambahnya pengangguran, ekonomi Indonesia harus tumbuh sekitar 8%. Dengan pertumbuhan ekonomi yang hanya sebesar 4%, maka jumlah pengangguran akan bertambah.

Untuk memerangi tingkat pengangguran, dalam keadaan normal akan membutuhkan peran dari sektor swasta dan juga pemerintah untuk menciptakan lapangan kerja. Tetapi dalam kondisi saat ini, dimana dunia usaha sedang sulit, pemerintah terpaksa harus menanggung sebagian besar tanggung jawab itu. Sektor swasta pun sulit diharapkan untuk menciptakan lapangan kerja dalam kondisi ekonomi saat ini.

Akibat kondisi tersebut, pemerintah di tahun 2009 ini terpaksa menambah pengeluaran belanjanya dengan memberikan suntikan atau stimulus untuk memutar roda perekonomian. Padahal di saat yang bersamaan, pendapatan pemerintah sedang turun akibat turunnya harga komoditas. Pendapatan pajak juga menurun karena pendapatan pajak akan sangat tergantung dari kondisi ekonomi. Jika ekonomi baik, tentunya penerimaan pajak akan tinggi. Sebaliknya jika ekonomi dalam kondisi seperti saat ini, laba dunia usaha akan menurun sehingga penerimaan pajak juga akan turun.

Akibat bertambahnya pengeluaran dan menurunnya pendapatan, maka tahun ini defisit APBN pemerintah diperkirakan akan meningkat. Untuk menutupi defisit tersebut, pemerintah mencari pembiayaan. Salah satu instrumen yang akan dipakai oleh pemerintah di tahun ini adalah Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau sukuk ritel.

Sukuk atau Obligasi Syariah menurut fatwa No. 32/DSN-MUI/IX/2002 yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama Indonesia adalah suatu surat berharga jangka panjang berdasarkan prinsip syariah yang dikeluarkan emiten kepada pemegang obligasi syariah yang mewajibkan emiten untuk membayar pendapatan kepada pemegang obligasi syariah berupa bagi hasil margin/fee, serta membayar kembali dana obligasi pada saat jatuh tempo.

Sukuk ritel ditawarkan dengan margin keuntungan sebesar 12% setahun dan merupakan surat berharga pertama yang berbasis syariah. Margin keuntungan 12% tersebut dikurangi juga dengan pajak 15% per tahun dan biaya kustodian yang ditetapkan masing-masing agen penjual. Akan tetapi bila dibandingkan dengan bunga bank, baik itu deposito atau tabungan, margin sukuk masih lebih menguntungkan. Sejak tanggal 30 Januari hingga 20 Februari sukuk ritel mulai ditawarkan kepada masyarakat umum. Pemerintah secara resmi membuka masa penawaran Sukuk Ritel seri SR-001. Sukuk ritel yang ditawarkan memiliki jangka waktu atau tenor 3 tahun. Imbalan atau kupon dibayarkan tiap bulan dan tetap. Sukuk ritel juga bisa diperdagangkan di pasar sekunder. Jumlah minimum pemesanan pembelian adalah Rp 5.000.000, (lima juta rupiah) dengan kelipatan Rp5.000.000,00 (lima juta rupiah).

Untuk mendukung penerbitan Sukuk Negara Ritel, Pemerintah telah menunjuk Konsultan Hukum dan Agen Penjual untuk penerbitan Sukuk Negara Ritel tahun 2009.

  1. Konsultan Hukum : Marsinih Martoatmodjo Iskandar Kusdihardjo Law Office
  2. Agen Penjual : Agen Penjual Sukuk Negara Ritel adalah 13 (tiga belas) perusahaan, yang terdiri dari Bank Umum Konvensional (4 perusahaan), Bank Umum Syariah (1 perusahaan) dan Perusahaan Efek (8 perusahaan), dengan rincian sebagai berikut :
  • Bank Umum Konvensional : PT Bank Mandiri (Persero), Tbk; Citibank NA; The Hongkong & Shanghai Banking Corporation Limited dan PT Bank Internasional Indonesia,Tbk.
  • Bank Umum Syariah : PT Bank Syariah Mandiri.
  • Perusahaan Efek : PT Danareksa Sekuritas; PT Trimegah Securities,Tbk; PT CIMB-GK Securities Indonesia; PT Andalan Artha Advisindo Sekuritas; PT Reliance Securities, Tbk; PT Anugerah Securindo Indah; PT Bahana Securities dan PT BNI Securities

Salah satu target sukuk ritel adalah para pemegang deposito (deposan) yang masih menaruh dananya di deposito yang memberikan tingkat bunga tinggi (10% -12%). Mengingat saat ini LPS sudah menurunkan tingkat bunga penjaminan menjadi 9.5% sehingga jumlah dana yang dijamin pemerintah besarannya berkurang, diharapkan akan membuat deposan lebih tertarik untuk memindahkan dananya ke sukuk ritel yang lebih aman. Meskipun demikian, untuk bisa menarik para pemegang dana tersebut, tentunya imbal hasil sukuk ritel tidak boleh ‘kalah‘ terlalu jauh.

Di tengah ketidakpastian ekonomi, masyarakat mulai melirik instrumen investasi yang aman, terlebih dengan adanya beberapa insiden buruk di dunia investasi akhir-akhir ini. Sukuk ritel sebagai instrumen investasi yang diterbitkan pemerintah diharapkan akan menjadi pilihan yang menarik oleh masyarakat, karena memenuhi kriteria investasi yang relatif sangat aman.

Lalu apakah perbedaan berinvestasi di ORI dan sukuk ritel? Perbedaan yang terlihat jelas adalah:

· Sukuk ritel bukan surat hutang, tapi surat atau sertifikat kepemilikan. Sukuk diterbitkan berdasarkan akad ijarah (akad sewa menyewa atas suatu aset). Aset SBSN yang disewakan merupakan Barang Milik Negara (BMN) yang memiliki nilai ekonomis seperti tanah dan bangunan. Penggunaan aset SBSN dapat dilakukan dengan cara dijual, disewakan, atau cara lain yang mengacu kepada prinsip syariah.

· Akadnya bukan hutang, tetapi sale and lease back

· Pemerintah menyediakan underlying asset untuk sukuk ritel, sementara ORI tidak memiliki underlying asset

· Proses penjualan dan pembelian, proyek-proyek yang dibiayai oleh sukuk juga harus memenuhi kaidah syariah (halal)

· Proses penjualan dan pembelian tidak hanya dimonitor oleh pemerintah, tapi juga Dewan Syariah Negara (DSN) – MUI.

Penurunan BI rate menjadi 8,25% yang memacu penurunan bunga penjaminan di LPS membuat sukuk ritel menjadi instrumen investasi yang diminati. Meskipun deposito di bank masih banyak yang tinggi, namum jika tidak dijamin LPS maka akan sangat mengkhawatirkan. Tambahan pula, pemerintah diperkirakan akan menurunkan lagi BI rate seiring dengan berkurangnya laju inflasi yang disebabkan melemahnya daya beli masyarakat sebagai imbas dari krisis global. Dengan imbal hasil investasi 12% setahun dalam jangka waktu 3 tahun, di saat perekonomian sedang lesu, ditambah pula dengan faktor keamanan, semakin menarik minat masyarakat untuk berinvestasi dalam sukuk ritel. Anda berminat?

Tidak ada komentar: